Puisi-Puisi Suyan Kasyifa


Terkoyak cinta

Cinta...
Aku muak
Aku benci
Aku marah
Ingin sekali aku berlari merusaknya
Merobek hingga berkeping lalu menginjaknya
Hingga tanah menelannya
Tapi aku tak pernah tahu dia dimana
Aku menangis sendiri
Menangisi diri yang semakin terkoyak cinta
Lombok, 2013
#

Sajak tikus di lumbung padi
Kugali di sembarang jalan
menemukan segenggam emas yang mungkin tertimbun di bawah aspal hitam
untuk menutup mulut yang selalu tertawa melihatku menyeret sepatu
Di antara fatamorgana yang menanti
Panas memang!!
Karena tak mungkin air mengalir dari tengah hitamnya jalan
Bukan  begitu maksudku
Karena di sebelah sana rumah itu bisa berdiri karena jalan itu
Aneh memang
Tapi itulah yang terjadi
Mereka mengikis jalan itu untuk menambal gubuk hingga seperti istana
Memang!!! Itu seperti tikus di lumbung padi
Makan sepuasnya.... tapi akhirnya mati!

Lombok, 2013
 #

Dalam dawai itu
Dalam dawai itu tersimpan sejuta bait lagu
Mampu membuatmu menangis, tertawa, bahkan mengejek
Asal mampu merangkai kata
Jangan khawatir !! zaman ini akan mendengarmu
Karena reformasi mengajarkan kita berbicara dan mendengar
Juga membalas dan pidana
Lalu angkat tangan dan belalakkan mata
Kemudian berlari
Karena sekarang arus banjir menghantam dari mana-mana
Merobohkan naluri dan imaji
Tapi dawai masih mengeluarkan bunyi
Hanya bunyi
Karena dia hanya digerakkan
dia memang benda mati
Hahahaha dawai hanya benda mati.

Lombok, 2013
#

Sampai gelap menutupi corak luka hatiku
Merenung dan merenung
Tak sadar
Kau sudah pergi menjauh
Meninggalkan kata yang tak terucap
Meninggalkan corak luka di hatiku yang tak mampu mengeluarkan sekedar sendawa
Sebaagai simbol
Aku inginkan kamu
Aku tak mampu
Bayangmu tak terlihat
Air mata tak terbendung
Karena panas cinta semkakin membakar jiwaku
Ingin kutelanjangi waktu agar berhenti berputar
Tapi tak ada dayaku
Hilang telah datang
Sesalpun muncul mengutukku
Membuatku rontok; beterbangan tertiup angin sore
Sampai gelap menutupnya.

Lombok, 2013
 #

Dahaga
Sekian lama dahaga
Meskipun air itu di depanku
Tapi tak terasa karena kau menambahkan garam di dalamnya
Banyak tapi lewat begitu saja seperti air laut
Selalu mengalir ke samudra
Membuatku tak mengerti
Selau begini saja
Jadinya
Lombok, 2013
 #

Saat Airmata mulai mengembun dipelupuknya
Berteriak sambil  menghentakkan kaki
Menendang serpihan kasih yang semakin tipis
Tak karuan jadinya...
Serpihan itu berlalu hingga menghilang
Hanya roh-roh yang mulai bergentayangan
Menarikan arti kasih yang masih fana
Begitu hinakah diriku hingga tak boleh memiliki kasih?
Tanya itu bergelantungan di dadaku
Tersapu saat air mata mulai mengembun di pelupuknya
Hati menjadi batu hingga tak ada gairah untuk mencari kasih
Biarkan saja pergi!!!
Aku tak peduli!!! Karena segalanya memang hina…
Lombok, 2013
 #

Sebelum sampai tawa hanya untuk dirinya itu
Dengar!
Perbanyaklah itu
Saat kupingmu masih terbuka lebar
Lihat!
Perbanyaklah itu
Saat matamu masih mampu terbuka
Karena akan ada badai besar
Yang mampu menyumpal hidung dan telinga
Tak ada yang mau melihat
Tak ada yang mau mendengar...
Hingga tawa hanya untuk dirinya...
Sampai semua mati!!!!
Lombok, 2013
#

Ketika tak ada logika
Bertahan menghembuskan nafas
Menggelembungkan senja yang semakin berarak ke barat
Ingin tidur dia....
Penat seharian menyinari muka-muka kosong yang mengeluarkan tawa
Tak ada logika disana...
Hanya nafsu semata
Lengang perasaan walau garis yang tergaris jelas
Melintang seakan mau berteriak
Namun tak ada yang peduli
Karena hidup memang sesaat....
Menikmatinya, itulah yang terpikirkan....

Lombok, 2013
#

Pada suatu dini
Saat angin melambungkan dingin....
Berselimut rindu kaki berpijak
Mencari seliter air untuk membasuh mulut wajah
tangan telinga kepala dan kaki
harus bersih!!!!!!
Teriak angin saat air itu menyentuh lidah
Banyak kebohongan yang tercipta disana
Harus bersih!!!!
Teriak angin itu saat menyentuh wajahku
Banyak kepalsuan tercipta disana
Harus bersih!!!!!!
Teriak angin itu saat telingaku tersentuh dingin...
Banyak fitnah yang sudah dimakannya
Harus bersih!!!!
Teriak angin itu saat kepalaku tersentuh dingin
Banyak limbah disana..
Harus bersih!!!!!
Angin itu semakin keras berhembus
Saat dingin kembali menyentuh kakiku
Banyak langkah sesat yang menyatu dengannya
Harus berrsih!!!!
Harus bersih!!!!!
Dingin itu membuatku menggigil.

Lombok, 2013
#

Akan kembali jua menjadi tanah
Kawan!!!
Llihatlah serpihan  kayu kering itu!!!
Berlumuran tanah sampai berubah menjadi tanah
Tahukah kamu!!!!
Begitulah hidupmu
Dari tanah menjadi tanah
Tanah itu letaknya dibawah kakimu kawan!!!
Tak berharga........
Walau gunung dan langit menyelimutimu
Tanah tetap selalu terinjak

Lombok, 2013
#

Aku (benar-benar tak mengerti suara binatang)
Setiap malam dalam tidurku
Kudengar anjing-anjing jalanan itu  berbicara sesaamanya
Ribut memang!
Tapi tak kuhiraukan karena aku memang tak mengerti
andai aku mengerti mungkin aku akan berjalan dan mendengarkan mereka
Tapi aku tak mengerti sama sekali
Atau pura-pura tak mengerti??
Ah, aku memang tak mengerti suara binatang
Apalagi yang jalan seperti anjing
Hanya peribut malam..
Itulah yang kutahu..

Lombok, 2013
#

Debu Lugu
Mengalirkan semuanya satu persatu begitu sulit
Karena celah untuk mengalir tertutup debu terlalu tebal
Mencari jalan yang lain ?
Itu tak mungkin
Karena debu terlalu banyak di mana-mana
Keluh yang bertambun itulah asalnya
Terlalu banyak keluh yang keluar dari mulut –mulut lugu itu
Andai hujan cepat turun
Mengalirkan air lebih banyak untuk menghapuskan debu-debu itu
Tapi angin masih enggan membawa hujan
Hanya melihat dan tertawa mengejek
Sambil sesekali ikut meniupkan debu hingga mata tak bisa melihat
2013
#

Menyendiri
Menyendiri
Kadang memiliki arti yang luas
Terbenam kasih di dalam diri mampu di artikan lebih
Lebih mengutamakn rasa dari logika
Membuat hati kadang cerah berakhir pilu
Enggan diriku melangkah
Menapakkan kaki mencari sesamaku
Agar sendiri tak lagi tercipta
Karena bersama tak seindah sendiri
Ini sering membuatku bertanya
Haruskah aku selalu sendiri?
Mengutarakan tanya yang kujawab sendiri
Karena memang tak ada yang akan menjawabnya
Aku memang sendiri.
Lombok, 2013
#

Dialah yang melihat kabut itu
Tak ada yang jelas sekarang
Semuanya tertutup kabut
Meski semua orang mengatakan jelas
Tapi mata tak mampu di bohongi
Karena dialah yang melihat kabut itu
Beriringan menyerbunya
Tiupan keluh seringakali terlontar
Namun sia-sia karena kabut semakin saja menebal
pekat,,sampai mengalahkan malam
Hingga tiap orang tak mampu lagi memilih
Membuka mata meskipun perih itulah jadinya
Daripada menjadi buta,, membuka mata mungkin lebih baik
Lombok, 2013
#

Lihat saja petani itu selalu saja miskin
Sering kudengungkan kata
Untuk apa mencari tahta????
Dengan bantuan bodohnya janji yang fana
Namun semuanya tak terelakkan
Karena dunia ini penuh dengan ancaman
Lihat saja petani itu selalu saja miskin
Padahal dia pemilik lumbung makanan
Tersenyum bahagia memamerkan lumbungnya
Namun termenung saat semua diubah menjadi fatamorgana oleh tangan-tangan bertahta
Masih ingin kau tanyakan semua itu?
Atau kau sudah mengerti..bahwa tahta segalanya?!
Lombok, 2013
#

Ayahku
Kukatakan pada ayahku tak bosankah kau menjadi orang miskin??Ayah hanya terdiam karena air mata dan amarah mengunci mulutnya, hanya sikap yang ia tunjukkan dengan  mencangkul dan menanam rutin di tanah orang yang ia akui, memupuk denag riang ibarat menggendong bayi, hati-hati dan teliti, ketika panen tiba hatinya riang bukan kepalang, mengajakku dan ibu turun memetik hasilnya, bahagia...bahagia...hingga butir-butir peluh tak ia hiraukan,, namun saat sore beranjak datang semuanya terdiam, karena semuanya kosong, panen seperti fatamorgana,,hanya terlihat tapi tak dirasakan...ayahku hanya diam membisu
Lombok, 2013
#

Tentang Penulis
Suyan Kasyifa, meraih gelar QH di Ma’hadah Darul Qur’an wal Hadits NW Pancor pada 2013. Sekarang, mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong pada Program Studi Pend. Bahasa dan Sastra. Juga penggiat sastra di Sastra Senja Lombok Timur.

Ternyata Kamu Cerpen Abduh Sempana

Ternyata Kamu

Pak Rusli, guru muda itu pusing melihat kelakuan peserta didiknya. Bagaimana tidak, setiap hari ia disuguhkan pemandangan ruang kelas yang sangat kotor yang dipenuhi sampah-sampah dan genangan air. Padahal pagi harinya ia melihat ruangan itu dalam keadaan bersih dan rapi. Tidak satu pun sampah-sampah berserakan di sana-sini.
“Anak-anak zaman sekarang memang sukar diatur. Semakin dilarang malah semakin seperti disuruh. Keterlaluan.” Pikir Pak Rusli.
“Hmm...Bapak kok kelihatan murung pagi ini, kenapa ya?”
“Vera, siapa yang membuang sampah sembarangan di dalam kelas?” Pak Rusli menjawab peserta didiknya itu dengan sebuah pertanyaan.
“Tidak tahu Pak, padahal tadinya bersih kok.”
“Sebelum lonceng masuk berbunyi, tolong ajak teman-temanmu membersihkannya.”
“Baik Pak.” Vera bergegas pergi sambil mencibirkan bibirnya.
Keesokan harinya Pak Rusli kembali melihat keadaan di ruang kelas XI-C.
“Memang benar-benar keterlaluan. Padahal setiap hari diperingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan, tetapi tetap tidak diindahkan. Apakah ada sekelompok siswa yang sengaja membuat ulah seperti ini. Apa maksud mereka. Ruang kelas dibuat seperti TPA. Padahal sudah ada bak sampah yang sudah disiapkan di luar.”
Pak Rusli mondar-mandir di sekitar teras kelas. Di lihatnya pula keadaan kelas yang lain. Kelihatan bersih dan rapi. Ia menghela nafas panjang. Selanjutnya ia pergi ke perpustakaan untuk menenangkan pikirannya. Dan di dalam perpustakaan hanya ada seorang siswi yang sedang asyik membaca buku.
“Vera, kamu tidak main seperti teman-teman kamu yang lain?”
“Malas Pak, mending di perpus ajjah, baca-baca buku gitu.”
“Bagus, keputusan yang sangat bijak.”
“Oya, kebetulan ada yang ingin kutanyakan pada Bapak.” Tanpa malu-malu Vera mendekati Pak Rusli guru matematikanya itu. Pak Rusli agak gugup.
“Apa itu?” Tanya Pak Rusli penasaran.
“Maaf sebelumnya, boleh Vera duduk di dekat Bapak?”
“Silakan!” Sahut Pak Rusli yang masih kelihatan bingung.
“Apa yang mau ditanyakan Ver?”
Vera diam sejenak lalu kembali menyahut.
“Mmm... mau ngobrol-ngobrol aja dengan Bapak. Karena aku tau saat ini Bapak sedang pusing. Atau maaf ya Pak, kalau seandainya saya mengganggu.”
“Tidak apa-apa, ternyata kamu bisa perhatian juga ya.” Pak Rusli tersenyum.
“Dikit Pak, Hehehe...”
Pak Rusli bertambah bingung. Tidak biasanya ia bercakap-cakap dengan seorang siswi seperti ini. Bahkan ini yang pertama kali. Apa lagi duduk berduaan pada tempat yang agak sepi. Pak Rusli pun akhirnya mejadi khawatir jika terjadi salah-salah duga oleh peserta didik lain yang kebetulan nantinya lewat. Tetapi utunglah tidak satu pun peserta didik yang nongol sampai bel tanda masuk berbunyi. Mereka pu akhirnya keluar
Esok harinya, Pak Rusli kembali memeriksa ruangan kelas IX-C. Keadaanya semakin bertambah parah. Meja bangku jungkir balik. Sampah-sampah berkeliaran. Air basuh tangan tumpah ruah di lantai.
“Riko, siapa yang membuah sampah-sampah di dalam kelas itu?”
“Tidak Tahu Pak.”
“Sinta, “
“Ya Pak!”
“Siapa yang bikin ulah di dalam kelas itu.” Tanya Pak Rusli geram.
“Tidak Tahu Pak. Sumpah. Mungkin anak laki-laki yang melakukannya. Saya duduknya di depan kok Pak. Memangnya kenapa ya, Pak?”
Pak Rusli semakin kesal. Kupingnya memerah mendengar jawaban salah seorang siswi tadi.
“Ajak teman-teman kamu membersihkannya!”
“Besok aja yang giliran piket membersihkannya Pak.” Siswa itu langsung meninggalkan Pak Rusli.
“Pak,”
“Vera, kebetulan sekali kamu ada di sini. Siapa yang kembali membuat ulah dengan mengotori dan membuat berantakkan meja bangku di dalam kelas ini. Bukankah ini kelas kamu?”
“Benar Pak, ini kelasku. Kenapa bisa jadi begini. Tadi tidak kenapa-kenapa kok Pak.”
“Siapa yang jadi ketua kelas?” Tanya Pak Rusli.”
“Saya Pak.” Jawab Vera.
“Baiklah, nanti kalau sudah masuk saya akan mengecek siapa yang melakukan perbuatan melanggar tata tertib ini.”
Tak lama setelah itu bel pun berbunyi. Siswa-siswi berhamburan masuk ke dalam kelas. Guru-guru yang akan mengisi jam pelajarannya juga sudah mengikuti mereka dari belakang. Kebetulan saat itu Pak Rusli memiliki Jam mengajar di kelas XI-C.
Pak Rusli pun masuk ke dalam kelas. Dilihatnya kelas masih dalam keadaan kotor. Bahkan semakin bertambah jorok. Hal itu membuat darah guru muda itu menjadi naik. Ingin segera ia memberikan sanksi yang setimpal kepada siapa saja yang membuat tidak nyaman itu.
“Anak-anak, saya ingin bertanya kepada kalian. Kalian harus menjawab pertanyaan saya dengan jujur. Ingat. Jangan sampai membuat saya bertambah marah. Sekarang katakan siapa yang sengaja mengotori ruang kelas ini?”
Suasana menjadi hening. Tak satu pun peserta didik yang berani melihat sorot mata Pak Rusli yang terkenal galak itu. Bahkan tak ada yang berani bergerak.
“Ayo kalian jawab! Kalian jangan beraninya cuma berbuat saja tetapi takut mempertanggungjawabkannya.” Wajah Pak Rusli memerah.
Tepat pada barisan bangku sebelah kanan-depan, Vera duduk dalam keadaan cemas dan takut. Kaki dan tangannya dingin. Keringat mengalir pada pipinya yang lembut itu. Jantungnya berdegup kencang seakan mau copot. Sesekali ia merunduk mengusap keningnya dengan tissu. Tetapi tetap saja keringat dingin itu mengalir.
Darrr!!!
Suara meja yang dipukul Pak Rusli membuat semua yang ada di dalam kelas itu terkejut. Meski pun begitu ada juga yang kelihatan cengar-cengir di belakang.
“Kami tidak tahu Pak...” Tiba-tiba seorang siswa laki-laki menyahut.
“Baiklah, kalau memang diantara kalian satu pun tidak ada yang mau mengaku, sekarang juga saya akan menghukum kalian semuanya.”
 “Ssss...ssaya, saya Pak.”
“Vera, maksud kamu?”
“Ya, saya yang melakukannya Pak.”
Pak Rusli menelan ludahnya. Emosinya menjadi kalang kabut. Meski demikian, ia masih berusaha menunjukkan kemarahannya di depan siswa.
“Bagaimana ini bisa terjadi.” Kata Pak Rusli dalam hati.

Tumbuhmulia, 2013

Bagaimana Menulis Puisi Yang Baik oleh Harry Ell hariry


Bagaimana menulis puisi yang baik?

Pertanyaan ini kerapkali kita dengar. Hampir disetiap diskusi-diskusi tentang kepenulisan kreatif (khususnya menulis puisi) tak luput dari pertanyaan tersebut. Alhasil jawabanpun juga akan berbeda-beda menurut mereka. Dan tentu sekali semua jawaban itu benar dan baik untuk kita terapkan dalam perjalanan kepenulisan (puisi) kita ke depan.

Sebelum lebih jauh kita membahas bagaimana menulis puisi yang baik. Mungkin ada baiknya kita berkenalan dengan puisi itu sendiri. Bahwa puisi adalah kakrangan yang sangat terikan oleh unsure-unsurnya sendiri (ini menurut buku-buku pelajaran yang kita temukan di bangku sekolah dulu). Bahwa puisi adalah ungkapan-ungkpan dari batin seseorang yang secara spontanitas (ini menurut William Wordsworth). Bahwa puisi adalah kata-kata hati yang bersifat musical dan lain sebagainya. Bahwa puisi adalah susunan kata-kata terindah dari bahasa yang juga terindah (pilihan) ini menurut Perchy Selly. Dan tentu sekali semua pengertian diatas benar dan tidak salah.

Namun demikan kalau kita perhatikan masing-masing pengertian tersebut, secara tidak langsung mereka saling bantah-membantah. Cotohnya misalkan Menurut Wordsworth, ia mengatakan puisi itu hal yang sangat spontanitas, tetapi apakah mungkin dan ada jaminan kata-kata yang tersusun dari sesuatu yang spontanitas itu memiliki susunan terindah dari yang terindah. Saya kira itu sangat kecil kemungkinan akan terjadi. Begitulah pusi, 

masing-masing orang (penyair) mendefinisikan puisi bermacam-macam. Kalau bagi saya, penulis itu adalah sebuah kode kehidupan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian kita sehari-hatiitupun adalah puisi. Tinggal bagaimana kita menyampaikan puisi dengan cara semenarik mungkin dan berbeda dari biasanya.

Lantas, menjawab pertanyaan “bagaimana menulis puisi yang baik” itu saya kira masing-masing orang (penyairpun akan menjawabnya menurut mereka masing-masing pula.
Berikut saya coba untuk menjawab pertanyaan tersebut menurut pengertian puisi yang saya ketahui.



  • Rajin-rajinlah membaca puisi karya penyair-penyair yang kamu sukai. Bahwa Sesungguhnya. Semua puisi tidak ada yang jelek. Kalau kemudian kita istilahkan bahwa puisi adalah kode kehidupan (life's code).Saya lebih setuju jika puisi itu dikatakan kuat dan lemah dalam menyampaikan pesan dan kesan yang terkandung dalam puisi
  • Jangan menutup diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perasaan atau perenungan-[erenungan mendalam
  • Jangan terlalu menutup diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan puisi, seperti misalkaan, diskusi, atau membaca artikel artikel terkait tentang puisi itu sendiri. seperti misalkan bagaimana proses kreatif sebuah puisi sebelum ia benar-benar menjadi sebuah puisi. Seperti artikel yang ini. Silahkah dilihat DISINI.
Baiklah. Demikian hal-hal yang harus kita ketahui ketika memulai menulis sebuah puisi yang baik. Jangan lupa baik disini kita artikan secara luas. TERIMAKASIH dan Salam Sastra!

Tanpa Syarat oleh Nona Chubby




            Aku tak butuh gelar ningrat mengalir ditubuhku. Aku tak meminta dilahirkan atas nama gelar baiq. Cabut saja gelar baiq yang sedang kusandang. Bantahku keras diujung lidah karena aku hanya bahan tak berfungssi di arena bincangan keluarga yang tak penting ini.
            “Coba bayangkan, apa yang akan di katakan orang-orang terhadap keluarga jika kau menikah dengan Galih. Apa yang kamu harapkan atasnya. Bangsa? Keluarga? Pendidikan? Semuanya tak ada. Dia itu golonngan biasa, dia tak punya ibudantinggaldenganibutirinya. Pendidikannnya hanya SMP,kamu mau hidup lebih buruk dari ini? Siap kamu menerima semua yang akan dikatakan masyarakat? Dan yang terpenting apa yang kamu harapkan dengn pendidikan yang hanya SMP itu? Bagaimana anakmu kelak?” plakkk kata-kata itu menamparku keras tanpa mampu terbangun dan menjawab apa yang sudah berada di ujung lidahku.Karenaapa yang mereka katakana takada yang salah.
            Tangiskku terus mengalir.Kutinggalkan orang-orang tak penting dengan semua debat, argumentnya. Makan argumen-argumenmu serapahku dalam hati.
            Kumulai mengambil ponselku dengan melemparkan tubuh keatas sprimbed yang sudah beberapa tahun menopang tubuh gempalku.
            Maaf...maaf atas nama perasaan yang terlanjur kuselipakn dinadimu. Aku terlanjur mengatasnamakanmu, menuliskan uratan rindu di syarafmu. Maaf... maafkan aku dan keluargaku. Panggil aku Linda tanpa Baiq. Sematkan saja akhir namamu pada nama anak-anak kita kelak. Ku kirim pesan singkat kepada Galih.
            Beberapa saat... aku mulai menunggu, menunggu apa yang akan di katakannya. Jika kau benar-benar mencintaiku kau tentu tak akan peduli dengan perlakuan keluargaku apalagi masyarakat. Biar kujalani hidup dengan anak-anakku kelak tanpa harus ia tahu bagaimana bangsa Baiq seolah ingin membunuhku.Gumamku terus tanpa henti.
            Tit tit tit tit handphonekku berbunyi dan langsung kusambar dalam isakku. Aku mencintaimu atas nama laki-laki dan kupatuhi naluri wanitamu. Jika kau berkenan tunggu aku mencurimu petang nanti.
            Dag dig dug jantungku berdegup tak kalah hebatnya dengan getar handphoneku yang sengaja ku silent. Aku menunggumu. balasku.
Kuusap tangisku yang mulai membaik.Penderitaan akan berakhir. Tegas batinku.
            Sampai dini hari  aku belum mampu menutup mata mengalahkan otakku berfikir jika seandainya langkah pemberontakan ini benar-benar  kulalakukan. Apa kata Ibuku yang selama ini menghabiskan hidupnya demi aku. Kata-kata mereka tentang Galih tak ada yang salah. Ketika waktunya kelak, ketika perasaan yang bernama cinta kan pudar kemana aku akan kembali? Tentu saja Ibuku. Ibu yang tak kuacuhkan, ibu yang ku lemparkan kotoran kejidatnya. Bisakah aku? Akh.. rasanya aku tak mampu. Disisi lain akupun melihat keseriusan Galih kepadaku. Bagaiman jarak dan waktu pacaran backstreet 10 tahun cukup membuka mataku. Mungkin aku tak akan mendapatkan lelaki lagi seperti ia. Jika bukan sekarang, aku tak tau kapan lagi aku akan mengisi hatiku, apalagi umurku sudah cukup dewasa untuk ukuran gadis di desaku Kotaraja. Angka 25 menyentuhku 3 bulan lalu, artinya mungkin saja sandang perawan tua akan kusandang mengikuti jejak-jejak para gadis-gadis Baiq yang terus saja harus di tekan dengan kasta, seserahan hingga harga pantastis.
            Azan mengakhiri perang di sarafku. Mataku tertelungkup dengan mata sembab lagi perih dan yang jelas tidak ada edisi keluar rumah apalagi bewara wiri di pinggir jalan hari ini.
             Aku akan mengoptimalkan pelarianku kali ini tanpa Ibuku atau siapapun curiga karena... hidupku aku yang tentukan, mereka tak akan ikut menderita jika apa yang mereka hawatirkan terjadi. Akan ku rangkul sendiri apapun yang terjadi.
            Dengan kepala yang agak sedikit berat dan pening tentu saja ketika ku buka mataku yang benar-benar bengkak. Kuraba handphoneku, kutatap layar pukul 10.00am.Ternyata ini melebihi perkiraanku. Entah apa yang ada dalam benak Meme, ia tak membangunkanku sedikitpun.
            Kulangkahkan kaki dengan sedikit tertunduk sembari sedikit kututupi wajahku. Aku yakin meme, atau adikku pasti mmengetahui, tapi sudahlah esok atau lusa mereka akan mengerti.

***

            Petang terasa begitu panjang nan melelahkan, bagaimana tidak aku tengah menunggu dalam ketakutan dan wsas-was. Iakah? Ini adalah jalan yang KAU pilihkan? Pesan penawar kecemasan tak kunjung datang menenangkan.
            Tok tok tok “Assalamualaikum...” suara Galih langsung kutangkap dari samar-samar kebisuan.
            “Waalaikum salam wr wb” meme keluar melihat siapa yang datang. Hatiku terguncang hebat.Jika itu memang benar-benar Galih,aku tak tau bagaimana akan kelanjutan cerita ini selanjutnya namun yang jelas ini kabar yang tak baik bagiku.
            Benar sekali, itu adalah Galih dan beberapa orang rombongan datang bertamu. Entah apa yang ingin mereka lakukan disini? Akh... Galih kau bodoh jika kau ingin meminangku. Keberanian apa yang ingin kau tunjukan kepadaku? Tak tahukah kau bagaiman kekentalan adat keluargaku? Ayah, Ninik, Mamik tak mungkin mengijinkan  untuk kau meminangku. Tak tahukah kau adat? Antara kasta bangsawan kami tak bisa kau ganggu gugat, bagaimana tradisi mencuri gadis diperbolehkan dalam adat kita karena tak ada dalam cerita bahwa bangsawan prempun akan dipinang dari kalangan biasa. Kau bodoh! Kau anggap kau siapa?
            Aku menggumam keras dalam hatiku dan benar saja apa yang kutakutkan terjadi. Galih bermaksud meminangku dan tentu saja kalangan keluargaku tersenyum mengejek kepadanya, mengatakan Galih dan orang-orang yang datang bersamanya tak pernah belajar tentang adat mekipun tentu saja mamik masih bisa berbicara halus.Aku tak tau lagi jika ninik terutama ayah berada disini, entah apa yang akan terjadi. Ayah terkenal sebagai pemangku adat yang kental dengan budaya, makanya banyak sekali diantara misan dan sepupuku masih lajang sampai umur yang menginjak angka 30 tahun bahkan harus melajang hingga lapuk. Entah apa yang ada dalam otak para bangsawan terutama ayahku.
            Aku tak berani keluar sedikitpun, mata yang tadi telah sembab kembali teraliri dengan deras. Samar-samar Galih dan rombongan pamit.Aku hanya menatap dari dalam. Setengah sadar kuambil handphoneku lalu keluar dari pintu belakang.Aku mencoba mengejar Galih dan rombongannya. Aku berharap mereka mau menerimaku setelah apa yang dikatakan mamik begitu keras namun ternyata mereka telah berjalan seratus meter dari tempatku dengan sebuah carry cateran. Kupencet handphoneku dan langsung kuhubungi Galih, aku berharap ia akan mempertahankanku dengan sekelimit yang telah kami lewati.       Tut tut tut... tiga kali kuhubungi dan entah berapa jarak sudah ia tempuh saat ini. Panggilan ketiga akhirnya diangkat. Hallo.. hallo,,, aku mulai bicara terisak dipenghujung telepon. Tak ada sahutan.Aku hanya mendengar suara-suara ramai yang kurang jelas, nampaknya itu suara rombongan yang tak terima perlakuan mamik. Aku mendengar dengan seksama bertarung dengan suara derak carry yang membawa mereka.
            Tangisku kian tak berhenti.Aku merasa benar-benar tak dianggap sebagai manusia disini. selain mereka hanya mempertahankan adat yang tak penting itu, aku tak menangkap alasan yang mungkin bisa kucerna, apalagi mereka menjodohkanku dengan sepupuku yang jelas-jelas belum punya pekerjaan, takmau bekerja selain ikut andil dalam gendang beleq. Apa yang bisa kuharapkan dari ia? Benar!Ia memang dari kalangan bangsawan sepertiku tapi apa ia cukup dengan makan nama bangsawsan? Atau aku bisa menyekolahkan anakku kelak dengan nama bangsawsan kami? Akh... ini 2015, kurasa nama bangsawan tak lagi dipandang sebagai tolak ukur. Orang sudah tak lagi menanyakan apakah kau baiq, lalu, ayahmu mamik? Aku rasa tidak karena saat ini orang-orang sudah mulai menanyakan siapa kamu? Apa pekerjaanmu atau paling tidak kau harus membuat sendiri kacamata masyarakat, maka tak peduli itu kau dari kalangan kasta biasa kamu kan dihargai bahkan lebih dari apa yang kamu maksud dengan kata bangsawan.
            Aku kembali masuk kedalam kamarku.Kali ini mamik dan meme telah menungguku dipintu belakang. Sepertinya ia tau apa yang telah kulakukan. Akh... aku tak peduli dan melangset langsung ke dalam kamarku, tak kudengar lagi apapun yang sedang atau yang akan ia katakan. Aku marah dan seandainya bisa kukatakan, aku ingin memecat diriku sebagai bagian dari anak dan keluarga disini.
            Keesokan paginya aku kabur.Kucari misanku yang pernah serupa mengalami sepertiku.Aku berniat akan ke rumah Galih karena semenjak tadi malam ia tak mau lagi mengangkat telponku. Kuminta misanku untuk menelponnya setelah kuceritakan semuanya. Ia mengerti bagaimana perasaanku saat ini setidaknya ia pernah lebih parah dari ini sampai mencoba bunuh diri.
            Akhirnya ia mengangkat dan entah apa yang ia katakan pada Galih hingga Galih bersedia menjemputku saat ini. Aku menunggu, namun hingga siang belum ada kabar  apapun. Mungkin sore, karena hari ini terlalu panas ungkapku menenangkan diri. Namun tetap saja hingga sore menyapa Galih tak memberi kabar apapun bahkan sejak siang tadi nomornya sudah tak aktif lagi.
            “Dayu, anterin aku sebentar” pintaku pada misanku, karena aku yakin bahwa Galih tak akan menjemputku.
            “Kemana? Bukankah Galih kan menjemputmu?”
            “Ia menungguku di jalan besar, kumohon” pelasku.
            Tanpa panjang lebar Dayu langsung menstarter maticnya dan langsung memintaku naik diboncengnya dan tentu saja gaya komengnya benar-benar gila. Namun aku diam saja sambil terisak.
            “Dimana?” Dayumulaimelambatkanjalannya.
            “Terussaja?”
            Akutak tau daerahapaini yang jelas perempatan jerowaru telah terlewati. Dayu terus bertanya sampaimana dan akhirnya aku jujur saja menceritakan apa yang sebenarnya terjadi karena aku percaya bahwa kami tak mungkin kembali saat ini. Petang telah menyapa dan jalanan yang dikelilingi hutan bakau mulai menyergap dalam ketakutan dan kerawanan akan jalanan sepi ini. Dan akhirnya rumah Galih yang hanya rumah panggung berhalamankan bibir pantai kujumpai seperti sediakala. Tak ada perubahan sejak kunjunganku dua tahun lalu bahkan kali ini jauh lebih kumuh. Rumah berukuran sedang yang hanya memiliki dua kamar tidur yang jauh dari kata sederhana, bahkan bisa kukatakan bahwa ini tak lebih dari kandang itik milik tetanggaku, bahkan kandang sapi milik mamik Dayu lebih baik dari ini. Entahlah apa yang membuatku segi lain karena yang jelas aku hanya ingin hidup bersamanya. Itu saja.
            Aku tak menjumpai Galih disana. Kuhubungi tetap tak aktif bahkan ketika kuminta bantuan tetangganya untuk menelpon yang mungkin saja tengah dengannya namunku dapati jawaban yang mengiris-iris. Ridho tengah dengan kekasihnya ujarnya yang langsung melumatkan jantungku.Aku terkulai sudah tak tau apa yang sudah kulakukan. Aku duduk merendahkan diri dihadapan bapaknya, ucapanku sudah ngawur pak tolong obati aku, sembuhkan aku karena aku tak tau apa yang digunakan Ridho kepadaku hingga aku segila ini. Terserah setelah ini apa ,aku akan berjodoh atau tidak yang jelas sembuhkan aku. Aku merengek sementara Dayu menontonku saja dari pinggir karena brugak kecil ini tak cukup untuk kami karena tetangga Galih juga tengah bersilaturrahmi kemari.
            Bapak Galih mulai membacakanku entah apa pada segelas air. Rasanya agak asin namun kutenggak saja. Selang beberapa menit Galih datang dan tentu saja wajah tak senangnya terlihat jelas. Ia menarikku kedalam rumahnya dan langsung menamparku mengenaiku wanita tak tau malu. Mendorongku dan mengusirku tanpa iba.
            Aku menangis dan langsung keluar naik diboncengan Dayu yang sejak tadi telah memutar motornya. Jalanan sepi dari daerah terelong-elong bukan masalah karena nyawa saat ini sudah tak penting lagi, bahkan aku berharap aku mati detik ini setidaknya ia akan menangis untukku meski sekali saja.

            Jalanan ini benar-benar sepi, kiri kanan jalanan hanya tumbuhan bakau dan tak ada satu motor pun yang melintas. Hanya kami berdua, ya hanya kami  dan seandainya ada perampok seperti yang diceritakan, maka tak akan ada jejak kami selanjutnya.

DOSA TRADISI oleh Nona Chubby



            Aku masih tak percaya bahwa kau akan mendongakkan tatapan yang selalu kucoba tundukkan. Bagaimana hijab ini terulur melebar agar tak seorangpun bisa berhalusinasi akan bicaraku.Aku takut pada Tuhanku, bukan karena neraka jahannamnya melainkan karena aku terlalu sayang pada diriku. Tuhan tak pernah dusta dengan apa yang dititahkannya apalagi akan mengingkari janji kepadaku yang tak seberapa itu.
            Gaa...dis kata yang selalu Gagah lemparkan kepadaku meski sekedar hanya untuk menegurku setikap kali bertemu, baik itu sengaja atau memang hanya kebetulan saja.
            Aku menjawab dengan senyuman lalu ia juga tersenyum kembali meninggalkan lekuk-lekuk pipi sempurna dengan lesungnya.
            Ada perasaan aneh yang mulai menelusur anganku belakangan ini. Mulai ada getar-getar rindu yang merisaukan. Perasaan nyaman akan kata sapaan itu mulai mengaliri ruangku. Akh.. andai saja dulu aku tak bersikeras masuk program Bahasa mungkin kata itu akan selalu kudengar setiap hari karena Gagah pernah menjadi teman sekelasku di program IPA beberapa hari hinga akhirnya permohonan pindah program disetujui pihak penanggung jawab sekolah. Intinya Gagah mulai menciptakan aroma berbeda diruangku.
            “Dis! Nggak gerah tuh gamis pannjang terus jilbab selebar itu?” Buka Rina ketika kami berjalan bareng untuk pulang melewati teras-teras kelas menuju loby dan tempat parkir.
            “Nggak. Makanya coba aja dulu. Nyaman kok” aku tersenyum sembari menatapnya dengan tatapan bergurau.
            “Serius...” Rina menarikku dengan sedikit merengek.
            “Dua rius!” aku tersenyum namun kali ini aku mulai menatapnya dengan tatapan memaksanya untuk mempercayaiku.
            “Iya dech iya, tapi Rina belum siap Dis. Masak pake hijab tapi gak bisa jaga akhlak, kan gak lucu” Rina tak ubahnya gadis belia yang benar-benar mencari apa yang seharusnya sedang atau yang akan ia lakukan. Ia masih mencari semuanya adalah bagaimana orang akan berpendapat.Bagaimana ia harus bersikap agar tak aneh, karena jujur saja meskipun kami pada usia yaang sama namun karakter kami jauh berbeda. Karenanya aku sangat mencoba berhati-hati sekali ketika ak harus mengatakan sesuatu kepadanya.
            Aku tersenyum tak berkomentar. Sebenarnya simple sekali, bahwa antara hijab dan akhlak itu dua hal yang berbeda, namun percaya saja ketika kita memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan, maka Tuhan tak akan pernah lupa untuk memperbaiki hubungan kita dengan makhluuknya dengan memperbaiki akhlak kita. Aku tak berkomentar bukannya kehilangan kata hanya saja rasa takut kehilangan orang karena ia merasa diajarkan membuatku memilih diam dan tersenyum. Aku percaya Rina akan mengerti akhirnya, tinggal ia harus menunggu lebih sabar lagi.
            “Tuuu... kan, kamu nyengir”.
            “Nyengir apaan sih?! Kamu itu lucu tau gak”.
            “Tuuu... kan Gadis” Rina masih merengek bak anak kecil.
            “Rina mau gak nanti sore ikut diskusi hijab sore ini” aku mengalihkan pembicaraan.
            “Pengeeennn, tapi aku malu. Aku gak punya gamis. Gadis tau sendirikan bagaimana kostum keseharian Rina? Kalau bukan jeans ya palingan kostum olahraga ”.
            “Ngapain malu coba, kan kita itu sama. Rina pake jeans terus kaos biasa juga keren kok”.
            “Memangnya Gadis mau pakai apa?” Rina menyelidik. Seandainya aku bilang pakai gamis Ia pasti gak mau ikut hadir.
            “Tenang saja Gadis juga pakai celana kok” aku mencoba ikut masuk ke Dunia Rina kali ini.
            “Beneran?”
            “E’em” aku mengangkat dua jari sebagai tanda janji.
            “Ok sip! Rina ikut” akhirnya sikekanakan itu mau ikutan dil juga.
            Penghujung loby menuju area parkiran akhirnya memutuskan pembicaraan kami. Rina mendadakanku layaknya balita yang kegirangan, sementara aku duduk sebentar menunggu barisan parkir terluar karena toh jika dipaksakan akan menunggu juga akhirnya.
            Bangku panjang loby yang berjejer menjadi pilihan sementara dengan sebuah novel teenlit perpustakaan menemaniku siang ini.
            “Gaaa…dis!” sapa seseorang yang langsung duduk tak berjarak ingin ikutan di membaca teenlit yang sedang kubaca.
            “Astagfirullah” aku sontak reflex dan berdiri menjauh beberapa langkah.
            “Maaf, maaf Dis!” Gagah terlihat tersinggung lalu pergi. Ia tak sedikitpun menatapku apalagi tersenyum, padahal aku rindu senyumnya.
            “Gah..Gagah” aku mencoba memanggil Gagah namun ia tak menoleh sedikitpun. Aku benar-benar hanya reflex. Maaf! Desisku lemah.
Gagah tak sederajatpun melirik kearahku padahal aku mencoba berdiri dan mengangkat setengah lenganku untuk meminta maaf. Kali ini Gagah benar-benar marah.
@@@

            Aku mengerti akan marahmu Gah, kita punya pemahaman berbeda tentang perasaan. Kau mengaku mencintaiku begitu pun aku. Hanya saja aku memilih cara berbeda dengan menyelipkan namamu dalam dhuha dan sepertiga malamku. Biar saja hanya aku dan Tuhan yang tau sebelum semuanya kan halal.
            Ketika saatnya nanti aku berharap gerimis senja akan ikut serta menaburi akan romantisnya ketika kau memilih kumenjadi bagian dari kesempurnaan tulang rusukmu. Memilih kumenjadi ma’mum dan bidadari hati untuk malaikat-malaikat kecil kita.
            Akad terhentak dalam satu tarikan nafas. Legakan menelisir anganku karena kau telah menjadikanku halal meski sekedar untu khawatir atau rindu itu mengintaiku. Batasan mahram telah melebur, sumringah kan melebar seketika karena jangankan menatapku dari kejauhan, menjemputku dan menyentuh jemariku adalah syurga.
            BarakAllah... barakaAllahh... barakAllah sambutan hangat akan terdengar indah sekali. Syukuran sederhana sebagai ajang bertemu keluarga besar dan handai taulan untuk membagi kebahagiaan kita rasanya cukup tanpa gendang beleq, janger, wacan atau apalah karena yang jelas aku ingin yang sederhana saja.
            Gah! Aku mencintaimu. Alasan sederhana yang kadangkala membuatku tak mampu mengartikannya. Mengertilah sunggingan lesungku. Aku mengerti bagaimana kita dibentuk untuk terbiasa, tapi bisakah kita menjadi yang tak biasa? Atau setidaknya maafkan aku atas ketakbiasaan ini, merindumu dengan perbedaan.
            Aku berjalan agak lemas menyusuri koridor menuju kelasku. Sekolah masih cukup sepi karena hanya ada beberapa anak saja yang telah datang. Tiba-tiba sebuah tangan langsung menyeretku dan tak bisa melawan karena pegangan kali ini benar-benar erat. Pemberontakan tak berarti apapun apalagi dipenghujung kutatap mata Gagah sembab dan berharap banyak bahwa aku membiarkannya bicara berdua saja kali ini. Ia menatap dalam tundukku. Aku tak berani menatapnya lebih dari ini.
            “Dis! Bisakah kita menjadi anak-anak lain sekali ini saja?”
            Aku mendongak tak mengerti dan seketika itu juga Gagah menyambar tubuhku dan memelukku erat. Tak ada pemberontakan dariku kali ini karena terus terang saja jangankan unuk melawan. Jantungku sepertinya terhenti. Lutut gemetar, tubuhku lemas. Seandainya tak ada tubuh Gagah mungkin aku sudah tersungkur.
            “Ma... maafkan aku Dis” Gagah melepas peluknya dan menyandarkanku di tembok koridor. Ia berlari meninggalkanku menuju kelasnya. Hanya pesan yang ia kirimkan kepadaku. Maaf... maaf untuk yang kesekian kalinya. Aku tak bermaksud apapun. Aku tak bisa mengakali diriku bahkan mungkin aku tak bisa membiarkanmu melepas pelukmu di pundak orang yang kau sebut tulang rusuk. Jika berkenan izinkan aku menjadi imam sholatmu, bahkan hari ini jika kau mengizinkan.

            Aku menangis dan hanya ada aliran tak terhenti diarial wajahku. Entah apa yang kutangisi. Pelukan itu ataukah keharuan akan bahasa Gagah. Akan kujawab esok Gah, lupakan hari ini dan jangan ulangi. Aku tak bermimpi menjadi apapun kecuali menjadi istri yang mengabdi kepada imamku dan bunda yang baik untuk malaikat-malaikatku. Tunggulah.... 

Launching bincang dan bedah buku karya Harry Ell Hariry (Founder of Sastra Senja)


Hallo hai para penikmat sastra
Berbicara tentang komunitas, tentu kita tidak luput dengan pencapaian-pencapain dalam komunitas tersebut. Sastra Senja selaku komunitas menulis Sastra yang berada di Lombok timur juga turut bahagia atas dilauncingnya antologi puisi-prosa liris tentnang cinta karya Harry Ell Hariry (penggagas Sastra Senja) yang bertajuk “Yang Tak Sempat Kusampaikan” pada 15 maret 2015 yang lalu.
Menrut Abduh Sempana (Exciter Sastra Senja) dalam ulasan dan apresiasinya terhadap antologi yang di maksudkan, bahwa “Yang tak Sempak Kusampaikan” tak ubahnya adalah sarang lebah. Lebih jelasnya silahkan klik disini untuk membaca ulasan yang dimaksudkan.
Kemudian, ada satu hal yanag sangat menarik, tidak terduga dan membuat terharu terjadi pada acara launcing bincang dan bedah buku Yang Tak Sempat Kusampaikan” yaitu hadirnya seorang paruh baya di tengah-tengah perbincangan isi dari antologi tersebut.
“sejak pukul Sembilan tadi, saya sudah berada disini, mendengarkan penyampaian-penyampaian menarik dari pemateri juga penulis buku. Dan saya sngat bahagia
Mendengarnya”aha… tentu  suara renta itu serta merta mengundang semua mata ke arahnya. Sesekali batuk usianya terdengar begitu ringkih ketika menyampaikan pandangannya tentang acara tersebut, dan itu mentasdiskan bahwa ia benar-benar mengikuti diskusi sedari tadi.
“maaf saya sengaja memilih deretan kursi yang paling belakang, lantaran saya malu, saya tidak sama dengan adik-adik yang masih muda belia”
Mendengar itu, semua bibir peserta jadi sumeringah
“lihat layar LCD!” Seolah ada kekuatan magis yang tertancap dari setiap kata-kata pak tua. Maka peserta lainpun memicingkan mata ke layar  LCD tanpa terkecuali.
“Baca satu persatu bait puisi tersebut!” lanjutnya”
Pasangan Paruh Baya menghadiri Launching Bincang Bedah Buku
"Yang Tak Sempat Kusampaiakan"
“ya, puisi itu sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang cinta ke pada lawan jenis semata, melainkan juga puisi tersebut juga merupak tamparan buat kami para orang tua… sungguh saya sangat terharu membaca puisi tersebut…
nah pembaca ingin tau puisi yang dimaksudkan?
silahkan klik disini

Biografi Harry Ell Hariry [Founder of Sastra Senja)



Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di STKIP Hamzanwadi Selong ini lahir pada 1 januari 1992 di Lombok-Nusa Tenggara Barat.
Sebenarnya, decak sastra dan seni yang ditekuninya telah lama mengalir sejak kepulangan abangnya (Candra Labent) yang telah lama hilang di desa rantau. Waktu itu ia masih kanak-kanak sementara si abang suka-suka menulis larik-larik cantik di dinding dan daun pintu kamarnya, tentu ia seringkali mencuri-curi sempat untuk sekedar memicingkan mata pada larik-larik cantik tersebut. Namun, lebih jauh lagi perkenalannya dengan Lintang Sugianto (baca: Penyair&Novelis) pada waktu sekolah menengah itulah secara tidak langsung memberikannya ruang baru yang lebih luas terhadap sastra dan seni kedepannya.
Selain suka menyendiri, lelaki yang tadinya bertempramen tinggi inipun tak luput jua menimba ilmu sosial selama beberapa tahun di Front Mahasiswa Nasional, hingga beberapa judul puisi dan prosa lirisnya terjaring dalam dua antologi puisi dan prosa liris kritik sosial bersama 50 penyair Indonesia, yaitu ‘Langit terbakar saat anak-anak itu lapar’ dan Negeri Sembilan Matahari’ (2013).
Tak hanya itu, Baru-baru ini ia mengenal sosok cantik dalam hidupnya ,ia kembali menerbitkan sebuah antologi puisi bertajuk cinta yang memuncak sekaligus penghianatan yang mendalam ‘Yang Tak Sempat Kusampaikan’ ( IBC, 2015).
Sekarang, di sela-sela kesibukan merampungkan tugas ahir kampus dan dwilogi ‘panggung putih’-nya (yang tak selesai-selesai). Ia juga terlibat dalam gerakan sastra dan seni bersama KONTRAS-Lombok Timur, Sanggar Narariawani dan Sastra Senja. Diantaranya sebagai pendamping teater tingkat pelajar (Teater Gerimis dan Teater Ombak).
Namun demikian, ada satu catatan merah yang akan selalu di ingatnya bahwa, lelaki yang beralamatkan di "harryellhariry.blogspot.com" ini, toh pernah juga mengulang mata kuliah bernama PUISI.[ ]

Catatan:

  • Penyair
  • Prosais