Aku masih tak percaya bahwa kau akan
mendongakkan tatapan yang selalu kucoba tundukkan. Bagaimana hijab ini terulur
melebar agar tak seorangpun bisa berhalusinasi akan bicaraku.Aku takut pada
Tuhanku, bukan karena neraka jahannamnya melainkan karena aku terlalu sayang
pada diriku. Tuhan tak pernah dusta dengan apa yang dititahkannya apalagi akan
mengingkari janji kepadaku yang tak seberapa itu.
Gaa...dis kata yang selalu Gagah
lemparkan kepadaku meski sekedar hanya untuk menegurku setikap kali bertemu,
baik itu sengaja atau memang hanya kebetulan saja.
Aku menjawab dengan senyuman lalu ia
juga tersenyum kembali meninggalkan lekuk-lekuk pipi sempurna dengan lesungnya.
Ada perasaan aneh yang mulai
menelusur anganku belakangan ini. Mulai ada getar-getar rindu yang merisaukan.
Perasaan nyaman akan kata sapaan itu mulai mengaliri ruangku. Akh.. andai saja
dulu aku tak bersikeras masuk program Bahasa mungkin kata itu akan selalu
kudengar setiap hari karena Gagah pernah menjadi teman sekelasku di program IPA
beberapa hari hinga akhirnya permohonan pindah program disetujui pihak
penanggung jawab sekolah. Intinya Gagah mulai menciptakan aroma berbeda
diruangku.
“Dis! Nggak gerah tuh gamis pannjang
terus jilbab selebar itu?” Buka Rina ketika kami berjalan bareng untuk pulang
melewati teras-teras kelas menuju loby dan tempat parkir.
“Nggak. Makanya coba aja dulu.
Nyaman kok” aku tersenyum sembari menatapnya dengan tatapan bergurau.
“Serius...” Rina menarikku dengan
sedikit merengek.
“Dua rius!” aku tersenyum namun kali
ini aku mulai menatapnya dengan tatapan memaksanya untuk mempercayaiku.
“Iya dech iya, tapi Rina belum siap
Dis. Masak pake hijab tapi gak bisa jaga akhlak, kan gak lucu” Rina tak ubahnya
gadis belia yang benar-benar mencari apa yang seharusnya sedang atau yang akan
ia lakukan. Ia masih mencari semuanya adalah bagaimana orang akan berpendapat.Bagaimana
ia harus bersikap agar tak aneh, karena jujur saja meskipun kami pada usia
yaang sama namun karakter kami jauh berbeda. Karenanya aku sangat mencoba
berhati-hati sekali ketika ak harus mengatakan sesuatu kepadanya.
Aku tersenyum tak berkomentar.
Sebenarnya simple sekali, bahwa antara hijab dan akhlak itu dua hal yang
berbeda, namun percaya saja ketika kita memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan,
maka Tuhan tak akan pernah lupa untuk memperbaiki hubungan kita dengan
makhluuknya dengan memperbaiki akhlak kita. Aku tak berkomentar bukannya
kehilangan kata hanya saja rasa takut kehilangan orang karena ia merasa
diajarkan membuatku memilih diam dan tersenyum. Aku percaya Rina akan mengerti
akhirnya, tinggal ia harus menunggu lebih sabar lagi.
“Tuuu... kan, kamu nyengir”.
“Nyengir apaan sih?! Kamu itu lucu
tau gak”.
“Tuuu... kan Gadis” Rina masih
merengek bak anak kecil.
“Rina mau gak nanti sore ikut
diskusi hijab sore ini” aku mengalihkan pembicaraan.
“Pengeeennn,
tapi aku malu. Aku gak punya gamis. Gadis tau sendirikan bagaimana kostum keseharian
Rina? Kalau bukan jeans ya palingan kostum olahraga ”.
“Ngapain
malu coba, kan kita itu sama. Rina pake jeans terus kaos biasa juga keren kok”.
“Memangnya
Gadis mau pakai apa?” Rina menyelidik. Seandainya aku bilang pakai gamis Ia pasti
gak mau ikut hadir.
“Tenang
saja Gadis juga pakai celana kok” aku mencoba ikut masuk ke Dunia Rina kali
ini.
“Beneran?”
“E’em” aku mengangkat dua jari sebagai tanda janji.
“Ok
sip! Rina ikut” akhirnya sikekanakan itu mau ikutan dil juga.
Penghujung
loby menuju area parkiran akhirnya memutuskan pembicaraan kami. Rina mendadakanku
layaknya balita yang kegirangan, sementara aku duduk sebentar menunggu barisan parkir
terluar karena toh jika dipaksakan akan menunggu juga akhirnya.
Bangku
panjang loby yang berjejer menjadi pilihan sementara dengan sebuah novel
teenlit perpustakaan menemaniku siang ini.
“Gaaa…dis!”
sapa seseorang yang langsung duduk tak berjarak ingin ikutan di membaca teenlit
yang sedang kubaca.
“Astagfirullah”
aku sontak reflex dan berdiri menjauh beberapa langkah.
“Maaf,
maaf Dis!” Gagah terlihat tersinggung lalu pergi. Ia tak sedikitpun menatapku apalagi
tersenyum, padahal aku rindu senyumnya.
“Gah..Gagah”
aku mencoba memanggil Gagah namun ia tak menoleh sedikitpun. Aku benar-benar hanya reflex. Maaf! Desisku
lemah.
Gagah tak sederajatpun melirik kearahku padahal aku mencoba
berdiri dan mengangkat setengah lenganku untuk meminta maaf. Kali ini Gagah benar-benar
marah.
@@@
Aku mengerti
akan marahmu Gah, kita punya pemahaman berbeda tentang perasaan. Kau mengaku mencintaiku
begitu pun aku. Hanya saja aku memilih cara berbeda dengan menyelipkan namamu dalam
dhuha dan sepertiga malamku. Biar saja hanya aku dan Tuhan yang tau sebelum semuanya
kan halal.
Ketika
saatnya nanti aku berharap gerimis senja akan ikut serta menaburi akan romantisnya ketika kau memilih kumenjadi bagian dari
kesempurnaan tulang rusukmu. Memilih kumenjadi ma’mum dan bidadari hati untuk malaikat-malaikat
kecil kita.
Akad terhentak
dalam satu tarikan nafas. Legakan menelisir anganku karena kau telah menjadikanku
halal meski sekedar untu khawatir atau rindu itu mengintaiku. Batasan mahram telah
melebur, sumringah kan melebar seketika karena
jangankan menatapku dari kejauhan,
menjemputku dan menyentuh jemariku adalah syurga.
BarakAllah... barakaAllahh...
barakAllah sambutan hangat akan terdengar indah sekali. Syukuran sederhana sebagai
ajang bertemu keluarga besar dan handai taulan untuk membagi kebahagiaan kita
rasanya cukup tanpa gendang beleq, janger, wacan atau apalah karena yang jelas
aku ingin yang sederhana saja.
Gah! Aku mencintaimu. Alasan
sederhana yang kadangkala membuatku tak mampu mengartikannya. Mengertilah sunggingan
lesungku. Aku mengerti bagaimana kita dibentuk untuk terbiasa, tapi bisakah
kita menjadi yang tak biasa? Atau setidaknya maafkan aku atas ketakbiasaan ini,
merindumu dengan perbedaan.
Aku berjalan agak lemas menyusuri
koridor menuju kelasku. Sekolah masih cukup sepi karena hanya ada beberapa anak
saja yang telah datang. Tiba-tiba sebuah tangan langsung menyeretku dan tak
bisa melawan karena pegangan kali ini benar-benar erat. Pemberontakan tak
berarti apapun apalagi dipenghujung kutatap mata Gagah sembab dan berharap
banyak bahwa aku membiarkannya bicara berdua saja kali ini. Ia menatap dalam
tundukku. Aku tak berani menatapnya lebih dari ini.
“Dis! Bisakah kita menjadi anak-anak
lain sekali ini saja?”
Aku mendongak tak mengerti dan seketika
itu juga Gagah menyambar tubuhku dan memelukku erat. Tak ada pemberontakan
dariku kali ini karena terus terang saja jangankan unuk melawan. Jantungku sepertinya
terhenti. Lutut gemetar, tubuhku lemas. Seandainya tak ada tubuh Gagah mungkin
aku sudah tersungkur.
“Ma... maafkan aku Dis” Gagah
melepas peluknya dan menyandarkanku di tembok koridor. Ia berlari
meninggalkanku menuju kelasnya. Hanya pesan yang ia kirimkan kepadaku. Maaf... maaf untuk yang kesekian kalinya. Aku
tak bermaksud apapun. Aku tak bisa mengakali diriku bahkan mungkin aku tak bisa
membiarkanmu melepas pelukmu di pundak orang yang kau sebut tulang rusuk. Jika
berkenan izinkan aku menjadi imam sholatmu, bahkan hari ini jika kau
mengizinkan.
Aku menangis dan hanya
ada aliran tak terhenti diarial wajahku. Entah apa yang kutangisi. Pelukan itu
ataukah keharuan akan bahasa Gagah. Akan
kujawab esok Gah, lupakan hari ini dan jangan ulangi. Aku tak bermimpi menjadi
apapun kecuali menjadi istri yang mengabdi kepada imamku dan bunda yang baik
untuk malaikat-malaikatku. Tunggulah....
No comments:
Post a Comment