Ternyata Kamu Cerpen Abduh Sempana

Ternyata Kamu

Pak Rusli, guru muda itu pusing melihat kelakuan peserta didiknya. Bagaimana tidak, setiap hari ia disuguhkan pemandangan ruang kelas yang sangat kotor yang dipenuhi sampah-sampah dan genangan air. Padahal pagi harinya ia melihat ruangan itu dalam keadaan bersih dan rapi. Tidak satu pun sampah-sampah berserakan di sana-sini.
“Anak-anak zaman sekarang memang sukar diatur. Semakin dilarang malah semakin seperti disuruh. Keterlaluan.” Pikir Pak Rusli.
“Hmm...Bapak kok kelihatan murung pagi ini, kenapa ya?”
“Vera, siapa yang membuang sampah sembarangan di dalam kelas?” Pak Rusli menjawab peserta didiknya itu dengan sebuah pertanyaan.
“Tidak tahu Pak, padahal tadinya bersih kok.”
“Sebelum lonceng masuk berbunyi, tolong ajak teman-temanmu membersihkannya.”
“Baik Pak.” Vera bergegas pergi sambil mencibirkan bibirnya.
Keesokan harinya Pak Rusli kembali melihat keadaan di ruang kelas XI-C.
“Memang benar-benar keterlaluan. Padahal setiap hari diperingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan, tetapi tetap tidak diindahkan. Apakah ada sekelompok siswa yang sengaja membuat ulah seperti ini. Apa maksud mereka. Ruang kelas dibuat seperti TPA. Padahal sudah ada bak sampah yang sudah disiapkan di luar.”
Pak Rusli mondar-mandir di sekitar teras kelas. Di lihatnya pula keadaan kelas yang lain. Kelihatan bersih dan rapi. Ia menghela nafas panjang. Selanjutnya ia pergi ke perpustakaan untuk menenangkan pikirannya. Dan di dalam perpustakaan hanya ada seorang siswi yang sedang asyik membaca buku.
“Vera, kamu tidak main seperti teman-teman kamu yang lain?”
“Malas Pak, mending di perpus ajjah, baca-baca buku gitu.”
“Bagus, keputusan yang sangat bijak.”
“Oya, kebetulan ada yang ingin kutanyakan pada Bapak.” Tanpa malu-malu Vera mendekati Pak Rusli guru matematikanya itu. Pak Rusli agak gugup.
“Apa itu?” Tanya Pak Rusli penasaran.
“Maaf sebelumnya, boleh Vera duduk di dekat Bapak?”
“Silakan!” Sahut Pak Rusli yang masih kelihatan bingung.
“Apa yang mau ditanyakan Ver?”
Vera diam sejenak lalu kembali menyahut.
“Mmm... mau ngobrol-ngobrol aja dengan Bapak. Karena aku tau saat ini Bapak sedang pusing. Atau maaf ya Pak, kalau seandainya saya mengganggu.”
“Tidak apa-apa, ternyata kamu bisa perhatian juga ya.” Pak Rusli tersenyum.
“Dikit Pak, Hehehe...”
Pak Rusli bertambah bingung. Tidak biasanya ia bercakap-cakap dengan seorang siswi seperti ini. Bahkan ini yang pertama kali. Apa lagi duduk berduaan pada tempat yang agak sepi. Pak Rusli pun akhirnya mejadi khawatir jika terjadi salah-salah duga oleh peserta didik lain yang kebetulan nantinya lewat. Tetapi utunglah tidak satu pun peserta didik yang nongol sampai bel tanda masuk berbunyi. Mereka pu akhirnya keluar
Esok harinya, Pak Rusli kembali memeriksa ruangan kelas IX-C. Keadaanya semakin bertambah parah. Meja bangku jungkir balik. Sampah-sampah berkeliaran. Air basuh tangan tumpah ruah di lantai.
“Riko, siapa yang membuah sampah-sampah di dalam kelas itu?”
“Tidak Tahu Pak.”
“Sinta, “
“Ya Pak!”
“Siapa yang bikin ulah di dalam kelas itu.” Tanya Pak Rusli geram.
“Tidak Tahu Pak. Sumpah. Mungkin anak laki-laki yang melakukannya. Saya duduknya di depan kok Pak. Memangnya kenapa ya, Pak?”
Pak Rusli semakin kesal. Kupingnya memerah mendengar jawaban salah seorang siswi tadi.
“Ajak teman-teman kamu membersihkannya!”
“Besok aja yang giliran piket membersihkannya Pak.” Siswa itu langsung meninggalkan Pak Rusli.
“Pak,”
“Vera, kebetulan sekali kamu ada di sini. Siapa yang kembali membuat ulah dengan mengotori dan membuat berantakkan meja bangku di dalam kelas ini. Bukankah ini kelas kamu?”
“Benar Pak, ini kelasku. Kenapa bisa jadi begini. Tadi tidak kenapa-kenapa kok Pak.”
“Siapa yang jadi ketua kelas?” Tanya Pak Rusli.”
“Saya Pak.” Jawab Vera.
“Baiklah, nanti kalau sudah masuk saya akan mengecek siapa yang melakukan perbuatan melanggar tata tertib ini.”
Tak lama setelah itu bel pun berbunyi. Siswa-siswi berhamburan masuk ke dalam kelas. Guru-guru yang akan mengisi jam pelajarannya juga sudah mengikuti mereka dari belakang. Kebetulan saat itu Pak Rusli memiliki Jam mengajar di kelas XI-C.
Pak Rusli pun masuk ke dalam kelas. Dilihatnya kelas masih dalam keadaan kotor. Bahkan semakin bertambah jorok. Hal itu membuat darah guru muda itu menjadi naik. Ingin segera ia memberikan sanksi yang setimpal kepada siapa saja yang membuat tidak nyaman itu.
“Anak-anak, saya ingin bertanya kepada kalian. Kalian harus menjawab pertanyaan saya dengan jujur. Ingat. Jangan sampai membuat saya bertambah marah. Sekarang katakan siapa yang sengaja mengotori ruang kelas ini?”
Suasana menjadi hening. Tak satu pun peserta didik yang berani melihat sorot mata Pak Rusli yang terkenal galak itu. Bahkan tak ada yang berani bergerak.
“Ayo kalian jawab! Kalian jangan beraninya cuma berbuat saja tetapi takut mempertanggungjawabkannya.” Wajah Pak Rusli memerah.
Tepat pada barisan bangku sebelah kanan-depan, Vera duduk dalam keadaan cemas dan takut. Kaki dan tangannya dingin. Keringat mengalir pada pipinya yang lembut itu. Jantungnya berdegup kencang seakan mau copot. Sesekali ia merunduk mengusap keningnya dengan tissu. Tetapi tetap saja keringat dingin itu mengalir.
Darrr!!!
Suara meja yang dipukul Pak Rusli membuat semua yang ada di dalam kelas itu terkejut. Meski pun begitu ada juga yang kelihatan cengar-cengir di belakang.
“Kami tidak tahu Pak...” Tiba-tiba seorang siswa laki-laki menyahut.
“Baiklah, kalau memang diantara kalian satu pun tidak ada yang mau mengaku, sekarang juga saya akan menghukum kalian semuanya.”
 “Ssss...ssaya, saya Pak.”
“Vera, maksud kamu?”
“Ya, saya yang melakukannya Pak.”
Pak Rusli menelan ludahnya. Emosinya menjadi kalang kabut. Meski demikian, ia masih berusaha menunjukkan kemarahannya di depan siswa.
“Bagaimana ini bisa terjadi.” Kata Pak Rusli dalam hati.

Tumbuhmulia, 2013

No comments:

Post a Comment