Aku
tak butuh gelar ningrat mengalir ditubuhku. Aku tak
meminta dilahirkan atas nama gelar baiq. Cabut saja gelar baiq yang sedang
kusandang. Bantahku keras diujung lidah karena aku hanya bahan tak
berfungssi di arena bincangan keluarga yang tak penting ini.
“Coba bayangkan, apa yang akan di
katakan orang-orang terhadap keluarga jika kau menikah dengan Galih. Apa yang
kamu harapkan atasnya. Bangsa?
Keluarga? Pendidikan? Semuanya tak ada. Dia itu golonngan biasa, dia tak punya ibudantinggaldenganibutirinya.
Pendidikannnya hanya SMP,kamu mau hidup lebih buruk dari ini? Siap kamu
menerima semua yang akan dikatakan masyarakat? Dan yang terpenting apa yang
kamu harapkan dengn pendidikan yang hanya SMP itu? Bagaimana anakmu kelak?”
plakkk kata-kata itu menamparku keras tanpa mampu terbangun dan menjawab apa
yang sudah berada di ujung lidahku.Karenaapa
yang mereka katakana takada yang salah.
Tangiskku terus mengalir.Kutinggalkan
orang-orang tak penting dengan semua debat, argumentnya. Makan argumen-argumenmu serapahku dalam hati.
Kumulai mengambil ponselku dengan melemparkan tubuh keatas
sprimbed yang sudah beberapa tahun menopang tubuh gempalku.
Maaf...maaf
atas nama perasaan yang terlanjur kuselipakn dinadimu. Aku terlanjur
mengatasnamakanmu,
menuliskan uratan rindu di syarafmu. Maaf... maafkan aku dan keluargaku.
Panggil aku Linda tanpa Baiq. Sematkan saja akhir namamu pada nama anak-anak
kita kelak. Ku kirim pesan singkat kepada Galih.
Beberapa saat... aku mulai menunggu,
menunggu apa yang akan di katakannya. Jika
kau benar-benar mencintaiku kau tentu tak akan peduli dengan perlakuan keluargaku apalagi masyarakat.
Biar kujalani hidup dengan anak-anakku kelak tanpa harus ia tahu bagaimana
bangsa Baiq seolah ingin membunuhku.Gumamku terus
tanpa henti.
Tit
tit tit tit handphonekku berbunyi dan langsung kusambar dalam isakku. Aku mencintaimu atas nama laki-laki dan
kupatuhi naluri wanitamu. Jika kau berkenan tunggu aku mencurimu petang nanti.
Dag
dig dug jantungku berdegup tak kalah hebatnya dengan getar handphoneku yang
sengaja ku silent. Aku menunggumu.
balasku.
Kuusap
tangisku yang mulai membaik.Penderitaan akan
berakhir. Tegas batinku.
Sampai dini hari aku belum mampu menutup mata mengalahkan
otakku berfikir jika seandainya langkah pemberontakan ini benar-benar kulalakukan. Apa kata Ibuku yang selama ini
menghabiskan hidupnya demi aku. Kata-kata mereka tentang Galih tak ada yang salah.
Ketika waktunya kelak, ketika perasaan yang bernama cinta kan pudar kemana aku
akan kembali? Tentu saja Ibuku. Ibu yang tak kuacuhkan, ibu yang ku lemparkan
kotoran kejidatnya. Bisakah aku? Akh.. rasanya aku tak mampu. Disisi lain
akupun melihat keseriusan Galih kepadaku. Bagaiman jarak dan waktu pacaran
backstreet 10 tahun cukup membuka mataku. Mungkin aku tak akan mendapatkan
lelaki lagi seperti ia. Jika bukan sekarang, aku tak tau kapan lagi aku akan
mengisi hatiku, apalagi umurku sudah cukup dewasa untuk ukuran gadis di desaku
Kotaraja. Angka 25 menyentuhku 3 bulan lalu, artinya mungkin saja sandang
perawan tua akan kusandang mengikuti jejak-jejak para gadis-gadis Baiq yang
terus saja harus di tekan dengan kasta, seserahan hingga harga pantastis.
Azan mengakhiri perang di sarafku.
Mataku tertelungkup dengan mata sembab lagi perih dan yang jelas tidak ada
edisi keluar rumah apalagi bewara wiri di pinggir jalan hari ini.
Aku akan mengoptimalkan pelarianku kali ini
tanpa Ibuku atau siapapun curiga karena... hidupku aku yang tentukan, mereka
tak akan ikut menderita jika apa yang mereka hawatirkan terjadi. Akan ku
rangkul sendiri apapun yang terjadi.
Dengan kepala yang agak sedikit berat
dan pening tentu saja ketika ku buka mataku yang benar-benar bengkak. Kuraba
handphoneku, kutatap layar pukul 10.00am.Ternyata ini melebihi perkiraanku.
Entah apa yang ada dalam benak Meme, ia tak membangunkanku sedikitpun.
Kulangkahkan kaki dengan sedikit
tertunduk sembari sedikit kututupi wajahku. Aku yakin meme, atau adikku pasti
mmengetahui, tapi sudahlah esok atau lusa mereka akan mengerti.
***
Petang terasa begitu panjang nan
melelahkan, bagaimana tidak aku tengah menunggu dalam ketakutan dan wsas-was. Iakah? Ini adalah jalan yang KAU pilihkan?
Pesan penawar kecemasan tak kunjung datang menenangkan.
Tok
tok tok “Assalamualaikum...” suara Galih langsung kutangkap dari
samar-samar kebisuan.
“Waalaikum salam wr wb” meme keluar
melihat siapa yang datang. Hatiku terguncang hebat.Jika itu memang benar-benar Galih,aku
tak tau bagaimana akan kelanjutan cerita ini selanjutnya namun yang jelas ini
kabar yang tak baik bagiku.
Benar sekali, itu adalah Galih dan
beberapa orang rombongan datang bertamu. Entah apa yang ingin mereka lakukan
disini? Akh... Galih kau bodoh jika kau
ingin meminangku. Keberanian apa yang ingin kau tunjukan kepadaku? Tak tahukah
kau bagaiman kekentalan adat keluargaku? Ayah, Ninik, Mamik tak mungkin
mengijinkan untuk kau meminangku. Tak
tahukah kau adat? Antara kasta bangsawan kami tak bisa kau ganggu gugat,
bagaimana tradisi mencuri gadis diperbolehkan dalam adat kita karena tak ada dalam
cerita bahwa bangsawan prempun akan dipinang dari kalangan biasa. Kau bodoh!
Kau anggap kau siapa?
Aku menggumam keras dalam hatiku dan
benar saja apa yang kutakutkan terjadi. Galih bermaksud meminangku dan tentu
saja kalangan keluargaku tersenyum mengejek kepadanya, mengatakan Galih dan
orang-orang yang datang bersamanya tak pernah belajar tentang adat mekipun
tentu saja mamik masih bisa berbicara halus.Aku tak tau lagi jika ninik
terutama ayah berada disini, entah apa yang akan terjadi. Ayah terkenal sebagai
pemangku adat yang kental dengan budaya, makanya banyak sekali diantara misan
dan sepupuku masih lajang sampai umur yang menginjak angka 30 tahun bahkan
harus melajang hingga lapuk. Entah apa yang ada dalam otak para bangsawan
terutama ayahku.
Aku tak berani keluar sedikitpun,
mata yang tadi telah sembab kembali teraliri dengan deras. Samar-samar Galih
dan rombongan pamit.Aku hanya menatap dari dalam. Setengah sadar kuambil
handphoneku lalu keluar dari pintu belakang.Aku mencoba mengejar Galih dan
rombongannya. Aku berharap mereka mau menerimaku setelah apa yang dikatakan
mamik begitu keras namun ternyata mereka telah berjalan seratus meter dari
tempatku dengan sebuah carry cateran. Kupencet handphoneku dan langsung
kuhubungi Galih, aku berharap ia akan mempertahankanku dengan sekelimit yang
telah kami lewati. Tut tut tut... tiga kali kuhubungi dan
entah berapa jarak sudah ia tempuh saat ini. Panggilan ketiga akhirnya
diangkat. Hallo.. hallo,,, aku mulai
bicara terisak dipenghujung telepon. Tak ada sahutan.Aku hanya mendengar
suara-suara ramai yang kurang jelas, nampaknya itu suara rombongan yang tak
terima perlakuan mamik. Aku mendengar dengan seksama bertarung dengan suara
derak carry yang membawa mereka.
Tangisku kian tak berhenti.Aku merasa
benar-benar tak dianggap sebagai manusia disini. selain mereka hanya
mempertahankan adat yang tak penting itu, aku tak menangkap alasan yang mungkin
bisa kucerna, apalagi mereka menjodohkanku dengan sepupuku yang jelas-jelas
belum punya pekerjaan, takmau bekerja selain ikut andil dalam gendang beleq.
Apa yang bisa kuharapkan dari ia? Benar!Ia memang dari kalangan bangsawan
sepertiku tapi apa ia cukup dengan makan nama bangsawsan? Atau aku bisa
menyekolahkan anakku kelak dengan nama bangsawsan kami? Akh... ini 2015, kurasa
nama bangsawan tak lagi dipandang sebagai tolak ukur. Orang sudah tak lagi
menanyakan apakah kau baiq, lalu, ayahmu mamik? Aku rasa tidak karena saat ini
orang-orang sudah mulai menanyakan siapa kamu? Apa pekerjaanmu atau paling
tidak kau harus membuat sendiri kacamata masyarakat, maka tak peduli itu kau
dari kalangan kasta biasa kamu kan dihargai bahkan lebih dari apa yang kamu
maksud dengan kata bangsawan.
Aku kembali masuk kedalam kamarku.Kali
ini mamik dan meme telah menungguku dipintu belakang. Sepertinya ia tau apa
yang telah kulakukan. Akh... aku tak
peduli dan melangset langsung ke dalam kamarku, tak kudengar lagi apapun yang
sedang atau yang akan ia katakan. Aku marah dan seandainya bisa kukatakan, aku
ingin memecat diriku sebagai bagian dari anak dan keluarga disini.
Keesokan paginya aku kabur.Kucari misanku
yang pernah serupa mengalami sepertiku.Aku berniat akan ke rumah Galih karena
semenjak tadi malam ia tak mau lagi mengangkat telponku. Kuminta misanku untuk
menelponnya setelah kuceritakan semuanya. Ia mengerti bagaimana perasaanku saat
ini setidaknya ia pernah lebih parah dari ini sampai mencoba bunuh diri.
Akhirnya ia mengangkat dan entah apa
yang ia katakan pada Galih hingga Galih bersedia menjemputku saat ini. Aku
menunggu, namun hingga siang belum ada kabar
apapun. Mungkin sore, karena hari
ini terlalu panas ungkapku menenangkan diri. Namun tetap saja hingga sore
menyapa Galih tak memberi kabar apapun bahkan sejak siang tadi nomornya sudah
tak aktif lagi.
“Dayu, anterin aku sebentar” pintaku
pada misanku, karena aku yakin bahwa Galih tak akan menjemputku.
“Kemana? Bukankah Galih kan
menjemputmu?”
“Ia menungguku di jalan besar,
kumohon” pelasku.
Tanpa panjang lebar Dayu langsung
menstarter maticnya dan langsung memintaku naik diboncengnya dan tentu saja
gaya komengnya benar-benar gila. Namun aku diam saja sambil terisak.
“Dimana?” Dayumulaimelambatkanjalannya.
“Terussaja?”
Akutak
tau daerahapaini yang jelas perempatan jerowaru telah terlewati. Dayu terus bertanya
sampaimana dan akhirnya aku jujur saja menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
karena aku percaya bahwa kami tak mungkin kembali saat ini. Petang telah menyapa
dan jalanan yang dikelilingi hutan bakau mulai menyergap dalam ketakutan dan kerawanan
akan jalanan sepi ini. Dan akhirnya rumah Galih yang hanya rumah panggung berhalamankan bibir pantai kujumpai
seperti sediakala. Tak ada perubahan sejak kunjunganku dua tahun lalu bahkan
kali ini jauh lebih kumuh. Rumah berukuran sedang yang hanya memiliki dua kamar
tidur yang jauh dari kata sederhana, bahkan bisa kukatakan bahwa ini tak lebih dari
kandang itik milik tetanggaku, bahkan kandang sapi milik mamik Dayu lebih baik dari
ini. Entahlah apa yang membuatku segi lain karena yang jelas aku hanya ingin hidup
bersamanya. Itu saja.
Aku tak
menjumpai Galih disana. Kuhubungi
tetap tak aktif bahkan ketika kuminta bantuan tetangganya untuk menelpon yang
mungkin saja tengah dengannya namunku dapati jawaban yang mengiris-iris. Ridho tengah dengan kekasihnya ujarnya yang langsung melumatkan jantungku.Aku terkulai
sudah tak tau apa yang sudah kulakukan. Aku duduk merendahkan diri dihadapan bapaknya,
ucapanku sudah ngawur pak tolong obati aku,
sembuhkan aku karena aku tak tau apa yang digunakan Ridho kepadaku hingga aku segila
ini. Terserah setelah ini apa ,aku akan berjodoh
atau tidak yang jelas sembuhkan aku. Aku
merengek sementara Dayu menontonku saja dari pinggir karena brugak kecil ini tak
cukup untuk kami karena tetangga Galih juga tengah
bersilaturrahmi kemari.
Bapak
Galih
mulai membacakanku entah apa pada segelas air. Rasanya
agak asin namun kutenggak saja. Selang beberapa menit Galih datang dan tentu
saja wajah tak senangnya terlihat jelas. Ia menarikku kedalam rumahnya dan langsung
menamparku mengenaiku wanita tak tau malu. Mendorongku dan mengusirku tanpa iba.
Aku menangis
dan langsung keluar naik diboncengan Dayu yang sejak tadi telah memutar motornya.
Jalanan sepi dari daerah terelong-elong bukan masalah karena nyawa saat ini sudah
tak penting lagi, bahkan aku berharap aku mati detik ini setidaknya ia akan
menangis untukku meski sekali saja.
Jalanan
ini benar-benar sepi, kiri kanan jalanan hanya tumbuhan bakau dan tak ada satu motor
pun yang melintas. Hanya kami berdua, ya hanya kami dan seandainya ada perampok seperti yang
diceritakan, maka tak akan ada jejak kami selanjutnya.
No comments:
Post a Comment